MENGUAP ITU MENULAR (?)
Tanpa
disadari seringkali saat melihat orang lain menguap akan ikut-ikutan menguap.
Bukan karena latah kalau yang melihat ikutan menguap, karena menguap memang
bisa menular. Menguap adalah tindakan refleks yang terjadi pada semua orang,
biasanya dilakukan untuk menghirup udara dalam jumlah banyak dan diikuti dengan
pernapasan.
Tindakan
refleks ini seringkali dikaitkan dengan stres, kelelahan, terlalu banyak
kerjaan, kebosanan dan mengantuk. Menguap juga bisa terjadi bila ada kelebihan
karbondioksida atau kelangkaan oksigen dalam aliran darah.
Menguap akan terus kita lakukan secara spontan sepanjang hidup kita.
Bahkan, sejak janin kita sudah mulai menguap dalam rahim tepatnya pada minggu
ke-11 setelah pembuahan. Bukan cuma kita, hampir semua hewan vertebrata juga
dapat menguap, termasuk juga ular dan kadal. Namun menguap yang menular hanya
terjadi pada manusia, simpanse dan mungkin juga anjing yang telah terbukti
melakukannya.
Jika anda melihat seseorang menguap, rasanya hampir tidak mungkin
mencoba menahan untuk tidak ikut menguap. Dahulu para ilmuwan menganggap bahwa
menguap hanya dilakukan seseorang untuk memaksimalkan pemasukan oksigen ketika
tubuh orang tersebut sedang kekurangan pasokan oksigen seperti ketika mengantuk
dan akan beranjak tidur. Namun teori ini tampaknya perlu mendapat revisi karena
penelitian terbaru mengungkapkan bahwa kita juga dapat secara spontan ikut
menguap ketika melihat orang lain yang sedang menguap walaupun kita sedang
dalam keadaan yang tidak kekurangan oksigen. Awalnya, para ilmuwan sendiri
masih tidak dapat menjelaskan dengan pasti alasan mengapa kita menguap ketika
melihat orang lain menguap. Namun, sekarang sebuah studi terbaru sudah dapat
menjelaskan mengapa menguap dapat menular dengan pengaruh yang sangat kuat.
Penelitian ini menunjukkan bahwa ikut menguap ketika orang lain
sedang menguap adalah tanda empati dan merupakan bentuk ikatan sosial. Karena
penularan emosi tampaknya telah menjadi insting utama yang mengikat seseorang
dengan yang lainnya. Sehingga tampaknya menguap mungkin juga merupakan bagian
dari hal tersebut. Seperti kita akan ikut tertawa dan menangis ketika sahabat
kita melakukannya, menguap juga menular dengan cara yang serupa. Para ilmuwan
telah berteori bahwa menguap yang menular adalah pengalaman bersama yang akan
meningkatkan ikatan sosial. Secara khusus, dapat menyebarkan dan saling berbagi
rasa stres atau rasa tenang pada suatu kelompok.
Studi ini juga menemukan bahwa anak-anak tidak mengembangkan
perilaku ini (ikut menguap ketika melihat orang lain menguap) sampai mereka
berusia sekitar empat tahun. Sedangkan anak-anak dengan autisme hanya memiliki
kemungkinan 50% untuk dapat menunjukkan prilaku ini dibanding dengan mereka
yang normal, bahkan dalam kasus yang paling parah, mereka tidak pernah
melakukannya. Oleh karena itu, kini menguap juga dapat membantu dokter dalam
mendiagnosa gangguan perkembangan pada anak.
Studi
terbaru menunjukkan menguap bukan saja sebagai tanda seseorang ingin tidur.
Tapi tujuan menguap untuk mendinginkan otak sehingga dapat beroperasi lebih
efisien dan membuat seseorang tetap terjaga.
Tapi
kenapa ketika seseorang menguap yang melihatnya juga ikut menguap?
"Kami
berpikir penyebab menguap itu menular karena dipicu oleh mekanisme empatik yang
berfungsi untuk menjaga kewaspadaan kelompok. Karenanya menguap adalah tanda
empati," ujar seorang peneliti Dr Gordon Gallup, seperti dikutip dari BBCNews,
Kamis (8/4/2010).
Penyebab
lain menularnya menguap karena aktifnya sistem saraf cermin (mirror neurons
system) yaitu neuron yang terletak di bagian depan setiap belahan otak
vertebrata tertentu. Ketika menerima stimulus (rangsangan) dari spesies yang
sama, maka spesies tersebut juga akan mengaktifkan daerah yang sama di otak.
Hal inilah yang menyebabkan seseorang akan menguap jika melihat oang lain
menguap.
Sistem
saraf cermin ini bertindak sebagai penggerak untuk meniru dan bertanggung jawab
terhadap pembelajaran manusia. Karenanya menguap sering dianggap sebagai cabang
dari impuls (gerakan) tiruan yang sama. Jika pusat dari sistem neuron cermin
tidak aktif saat melihat seseorang menguap, maka hal ini tidak akan memiliki
hubungan dengan keinginan merespons untuk menguap.
Semakin
kuat seseorang ingin menguap, maka semakin kuat aktivasi dari bagian otak
periamygdalar kiri. Hasil temuan ini merupakan tanda neurofisiologis pertama
yang mengungkapkan bahwa menguap bisa menular. Daerah periamygdalar adalah zona
yang terletak di samping amigdala dan struktur bentuknya seperti kacang almond
yang terletak jauh di dalam otak.
Aktivasi
beberapa bahan kimia yang ditemukan di otak, misalnya, serotonin, dopamin,
glutamin, asam glutamat dan oksida nitrat, dapat pula meningkatkan frekuensi
menguap. Sedangkan beberapa bahan kimia lain seperti endorfin justru bisa
mengurangi frekuensi menguap.
Jika
seseorang menguap, maka ada tahapan yang terjadi adalah:
1.
Dimulai dengan mulut terbuka
2.
Rahang bergerak ke bawah
3.
Memaksimumkan udara yang mungkin dapat
diambil ke dalam paru-paru
4.
Menghirup udara
5.
Otot-otot perut berkontraksi
6.
Diafragma didorong ke bawah paru-paru
7.
Terakhir beberapa udara ditiupkan
kembali.
Beberapa studi menunjukkan manfaat dari
menguap yaitu dapat menstabilkan tekanan di kedua sisi gendang telinga atau
mirip dengan peregangan, melenturkan otot dan sendi pada tubuh serta
meningkatkan tekanan darah dan denyut jantung.
Metrotvnews.com, Jakarta: Para ilmuan tertarik pada fenomena
menguap yang menular. Penelitian terbaru menunjukkan menguap yang menular
adalah bentuk empati sosial. Hal itu membantu orang untuk berinteraksi satu
sama lain.
Versi ini terbukti oleh fakta bahwa
anak-anak menunjukkan tindakan menguap yang menular pada usia empat sampai lima
tahun. Hal ini terjadi bersamaan dengan pengembangan kemampuan untuk
menginterpretasi emosi orang lain. Akan tetapi, belum jelas apa yang menentukan
menguap bisa ditularkan kepada orang lain.
Peneliti dari University of Pisa telah
menganalisa 480 tindakan menguap yang melibatkan 109 relawan. Mereka tinggal di
belahan bumi yang berbeda: Amerika Utara, Asia, Afrika, dan Eropa. Hasil
penelitian tersebut membenarkan teori yang ada.
Reaksi orang untuk menguap sangat
menunjukkan hubungan antara kelompok orang yang berbeda. Menguap yang paling
menular adalah antara anggota keluarga. Mereka menyebabkan keinginan setengah
dari relawan untuk menguap.
Kategori ini diikuti oleh teman-teman.
Ketika menguap, langsung direspon hampir dari setengah relawan. Keinginan yang
sama untuk menguap jika hubungan sosialnya hanya dalam konteks saling mengenal
terjadi pada satu dari delapan orang. Sedangkan menguap yang ditularkan orang
asing hanya terjadi pada satu dari sepuluh orang.
Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa
butuh waktu yang lebih lama untuk menularkan tindakan menguap pada orang asing,
dibandingkan dengan orang-orang yang kita kenal baik.
Referensi
Terima kasih buat sharing infonya.
BalasHapusDiriwayatkan dari Abu Hurairah ra. : Nabi Muhammad Saw pernah bersabda, “menguap adalah dari setan. Karena itu, apabila salah seorang dari kalian menguap, tutuplah serapat mungkin karena ketika salah seorang dari kalian berkata ‘huah’ (pada saat menguap), setan akan menertawakannya”. [HR Bukhari]